Akhir pekan adalah waktuku menikmati udara yang dipenuhi aroma kopi yang sedang disangrai. Ya, waktu itu aku masih tinggal di kost yang hanya beberapa rumah jaraknya dari dapur sangrai kopi milik seorang legenda kopi di kota ini, Cak Ri, begitu orang mengenalnya.
Bangun lebih siang dari hari biasanya setelah semalaman begadang nongkrong bareng teman-teman, ato membaca, ato lembur kadang-kadang, sabtu pagiku akan selalu kumulai dengan membuka jendela kamar, membiarkan aroma kopi itu masuk memenuhi ruangan, lalu aku akan mandi, menyeduh kopi, barulah kubuka pintu kamar, duduk di teras dan sembari menunggu kopiku menghangat, kunyalakan sebatang rokok, kunikmati sambil memejamkan mata sembabku, tak bosan kuhirup aroma kopi yang tengah disangrai itu. Lalu sruputan kopi pertama dan beberapa lembar bacaan untuk memulai hariku.
Bagiku, itu perfect weekend. Hanya aku dengan atmosfer yang mengelilingiku. Tanpa interupsi dari siapapun dan apapun.
Oh…aku bisa melakukan itu beberapa jam di pagi akhir pekanku hingga pagiku habis terbakar matahari siang yang cukup terik di kota ini.
Lalu pagi berikutnya di hari minggu aku akan melakukan hal yang sama.
Kamarku yang terletak di lantai dua dengan teras di depan kamar, menghadap udara terbuka memudahkan aroma apapun masuk, termasuk bau busuk dari kawasan industri di belakang kampung kost ku. Jadi saat aroma kopi menebar, aku akan membuka semua jendela dan pintu kamar. Membiarkan mereka menelusup hingga kolong tempat tidurku, ke rongga lemari, kamar mandi hingga ke lubang fentilasi di atas posisi bantalku.
Saat ini, setelah beberapa tahun aku pindah dari sana, tanpa kusengaja, karena memang hanya weekend yang bagiku paling mungkin untuk menyangrai kopi, pagi akhir pekanku sering kuhabiskan menyangrai kopi di dapur sangrai milik seorang kawan. Ya, saya sedang terus berlatih menyangrai kopi.
Aroma itu sedikit banyak membuka kembali kenangan pagi akhir pekanku kala itu. Menerbangkanku kembali ke masa dimana aku tidak akan merelakan begitu saja apapun dan siapapun merusak pagi di akhir pekanku, dimana hanya ada aku, kopi, rokok, buku dan atmosfer yang mengelilingiku.
Jungkir balik susah senang hingga terpurukku di kota ini banyak kumulai dari sepetak kamar kost itu. Ketika kusadari itu, ada rasa nyeri di dadaku mengingat betapa kota ini menawarkan dua sisi pahit dan manis yang harus kutelan sekaligus, tanpa punya pilihan. Kupertaruhkan kebahagiaan egoku demi yang katanya masa depan. Entahlah, masa depan itu takdir yang sudah Dia gariskan untukku atau hanya dongeng bapakku supaya aku pulas dan tidak meliar.
Tidak banyak yang ingin kuingat dari kamar kost itu. Sekat tembok yang memisahkan antara teras yang laksana surga ketenangan beraroma kopi yang surgawi bagiku, dengan kamar tempatku tersiksa menangisi apapun yang harus kutagisi. Tidak mudah. Bahkan hingga saat ini, rasa nyeri dan sesak itu masih selalu menyerangku.
Tidak perlu kutulis semuanya, banyak sekali hal bodoh yang telah kulakukan dan akhirnya berujung pada tangis dan sumpah serapah.
Many many sleepless nights, too many things that makes me stay awake the whole night and crying.
Lalu kemana semua orang? Apa aku tidak punya kawan satupun?
Tidak…
Mereka ada di sana.
I just let them see what i let them to see.
Cheers to the universe