No matter how good piccolo coffee tasted, my favourite coffee is black coffee, so do yours.
It was an ordinary night, until you came and mess it out to broke. Aku benci caramu datang dan pergi begitu saja seolah kamu nggak pernah puas membuatku menangis. Entah apa salahku padamu di masa lalu. Sedendam itukah kamu, Em?
Victor : “Hey, apa kabar kamu? Lama nggak ketemu.”
Emily : “Good. Ya, i’m good. Biasa kerjaan banyak.”
Victor : “Ya, like always.”
Emily : “Haha nha tu tau, masih nanya aja.”
Victor : “Trus?”
Emily : “Trus apa?”
Victor : “Tumben ini kamu beredar di peradaban manusia.”
Emily : “Haha sial. Sesekali boleh dong aku nikmatin hidup.”
Victor : “What was happened, Em?”
Emily : “Apa? Aku ya gini-gini aja sih, B aja, nothing so special.”
Victor : “Ya right, you tell me clearly.”
Emily : “Aku cuma lagi sibuk aja, kerjaan overload, jadi memang jarang keluar.”
Victor : “Ya, I can see that. Aku kangen kamu, Em.”
Emily : “Hahaha… udah?”
Victor : “Come on, Em…”
Emily : “Ya kebetulan aja waktu ngopi kita beda, aku lebih banyak ngopi malem gini, habis kerja. Ini juga aku nggabisa lama-lama. Aku masih ada tanggungan kerjaan lagi yg udah deket deadlinenya.”
Victor : “You’ve pushed your self too hard, you need a break sometimes.”
Emily : “Vick, i’m good. I’m trully good.”
Victor : “Great for you deh. Bisa kan besok-besok ngopi bareng?”
Emily : “Ya liat ntar aja deh, kukabari kalo ada waktu.”
Victor : “Ya.”
.
Dua bulan setelah pertemuan kita di kafe depan kantorku, dan kau bilang akan memberi kabar, dan ternyata kamu menghilang begitu saja. Seolah bumi menelanmu utuh. Tanpa sisa. Bahkan bayanganmu pun tak pernah kulihat.
Emily, kamu menghilang lagi. Seperti pernah kau lakukan sebelumnya. Sebenci itukah kamu padaku? Sesibuk itukah kamu? Sependek itukah ingatanmu sampai kamu lupa untuk sekedar berkabar?